loading...
Si gadis jelita termenung sejenak tetapi, sepasang matanya yang lembut terus menatap wajah Andi Kamarool dan sekilas senyum berlari di kelopak bibir, tentunya untuk Andi Kamarool yang muka di dakap keresahan.
"Begini saja, awak ikut saya berjalan-jalan di sini."
"Untuk apa?" Andi Kamarool gugup.
"Melihat keindahan dan kecantikan kawasan ni. Lagipun awak orang baru di sini. Saya kira, jalan bersama tak salah. Macam mana, awak setuju?"
Andi Kamarool jadi serba salah. Sekejap garu kepala, sekejap garu leher, sekejap lagakan gigi atas dengan bawah sekali. Dia masih ragu untuk membuat keputusan.
"Bagaimana? Kamu ragu-ragu dengan aku?" desak si gadis.
"Ayuh, saya temankan awak," jawab Andi Kamarool penuh semangat.
"Bagus, kita menuju ke sungai," si gadis jelita memulakan langkah. Mereka berjalan beriringan.
Seperti apa yang saya lalui, Andi Kamarool juga turut mengalaminya. Dia melihat air sungai yang melimpah ruah tetapi mengalir tenang mengarah dengan dedaun kering dan kumpulan bunga teratai dari hulu.
"Mari kita mandi," si gadis jelita sambil menanggalkan pakaian. Cuma yang tinggal coli dan seluar dalam. Si gadis jelita terjun ke dalam sungai.
"Mari kita mandi," ajaknya lagi sambil melentangkan badan di permukaan air sungai yang tenang.
"Kenapa menung, jangan tunggu lama-lama. Terjun dan berenang sekarang," desak si gadis jelita.
Dan kali ini, Andi Kamarool bersedia memenuhi permintaan itu. Dia segera terfikir, mungkin apa yang sedang dilaluinya ini adalah tipu helah pengawal rumah batu lama untuk memerangkapnya. Andi Kamarool tergesa-gesa berpatah balik.
"Kenapa kamu berpatah balik? Kamu takut dengan air," jerit si gadis dengan rasa kesal yang amat sangat.
Andi Kamarool mempersetankan suara si gadis itu. Dia cuma senyum dan berpatah balik ke tebing sungai.
Berdiri kaku di situ, melihat si gadis jelita berenang dan menyelam sesuka hati. Tubuh si gadis yang segar jadi sasaran biji mata Andi Kamarool.
Payu dara yang keras dan tajam menolak coli yang nipis. Rambut yang panjang bagaikan tebaran jala bila si gadis yang memusingkan kepala dengan cepat.
Si gadis terus berenang dan menyelam bagaikan puteri duyung. Semua gerak-geri yang dipamerkan seolah-olah berusaha membangkitkan nafsu berahi Andi kamarool. Ternyata Andi Kamarool tidak mudah untuk digoda.
Andi Kamarool terus menanti di pinggir tebing.
"Kenapa kamu tak pergi?" soal si gadis sebaik saja dia menghampiri tebing.
Tangan kirinya memegang akar yang terjuntai ke dalam sungai, tubuhnya terus digerak-gerakkan dalam air sungai yang jernih.
Andi Kamarool dapat menikmati seluruh kulit tubuhnya yang putih melepak. Di bahagian tengah belakangnya bertenggek seketul tahi lalat hidup.
"Kamu menanti sesuatu dari aku," tambah si gadis, dia terus berenang ke tengah sungai dengan cara terlentang.
"Lihat sini," jeritnya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Andi Kamarool. Dengan sekelip mata dia terus menyelam ke dasar sungai.
"Ke mana dia?" hati kecil Andi Kamarool berkata sendirian.
Cukup lama si gadis itu menyelam, hampir kecewa Andi Kamarool dibuatnya.
Tiba-tiba si gadis muncul di permukaan sungai. Berenang dengan tenang ketepian. Dia melompat ke atas tebing.
Dengan sekelip mata coli dan seluar dalamnya terus kering dengan serta merta.
"Anehnya," bisik batin Andi Kamarool.
Si gadis terus senyum, seolah-olah tahu apa yang bergolak dalam dada anak muda di bibir tebing dan mata beningnya terus menatap sekujur tubuh Andi Kamarool.
Si gadis terjun ke dalam sungai kembali. Menyelam untuk beberapa saat dan muncul kembali dengan sebilah keris lama agak pendek, tetapi mempunyai lima luk tanpa hulu dan sarung.
Semasa ditayangkan kepada Andi Kamarool, mata keris lama mengeluarkan cahaya kekuning-kuningan hanya untuk beberapa saat sahaja.
TEBING
Si gadis melompat atas tebing, sepasang kakinya dari paras lutut hingga ke hujung kaki berada dalam air sungai. Andi Kamarool melihat air sungai.
Andi Kamarool melihat air dari hujung rambut jatuh meleleh perlahan di permukaan kulit dada dan belakang sebelum jatuh ke bumi.
"Cantik dan antik," si gadis menggerak-gerakkan keris lama berluk lima, dari kanan ke kiri di depan mata Andi Kamarool.
"Berikan pada saya."
"Buat apa?"
"Untuk kenang-kenangan," jawab Andi Kamarool.
"Mudahnya nak minta harta orang. Permintaan dan ajakan orang tak dilayan."
"Apa permintaannya?"
"Buat lupa pula, bukankah tadi aku ajak kamu mandi bersama."
"Oh..!" Mulut Andi Kamarool separuh terlopong.
"Sudahlah."
Secepat kilat si gadis jelita mengangkat kaki dari sungai. Dia terus berdiri. Tubuhnya yang jadi sembilan puluh peratus bogel segera ditutupinya dengan tuala besar.
Entah dari mana tuala itu menjelma? Semuanya membuat kepala Andi kamarool pening.
"Kita pulangkan keris ini ke tempatnya. Kalau kamu berhajat, silalah cari sendiri dalam sungai. Selamat tingggal orang muda."
"Jangan dibuang, nanti dulu."
Si gadis buat tidak kisah dengan permintaan Andi Kamarool. Keris lama berluk lima segera dicampakkannya ke dalam sungai. Dia terus berlalu dan Andi Kamarool tersedar.
Kerana sudah ternyata apa yang dilakukan tidak mendatangkan hasil, kami memutuskan untuk pulang saja ke rumah papan.
Tetapi, kami mengalami kejutan yang lain pula. Kami tidak dapat tidur, badan terasa panas, gatal dan berpeluh seperti berada dekat dengan unggun api.
Apa yang peliknya, menjelang subuh rasa panas, gatal dan peluh di badan hilang serta merta. Dan kami dapat menunaikan sembahyang subuh dengan sempurna.
Sepuluh minit setelah menunaikan sembahyang subuh. Kami diserang rasa mengantuk yang amat sangat.
Bagaimana tidak terdaya membuka kelopak mata dan akhirnya kami terlena di hadapan sejadah dan terjaga bila terdengar ketukan yang bertalu-talu di pintu.
Saya suruh Andi Kamarool bangun dan membuka pintu. Sebaik saja daun pintu terbuka, sinar matahari yang terang benderang terus masuk ke dalam rumah papan.
Di muka pintu, tercegat Kak Sun menatang setalam makanan untuk sarapan pagi. Dia senyum penuh rasa ramah.
"Pukul berapa sekarang Kak Sun?" sambil menggosok-gosok mata Andi Kamarool bersuara.
"Dah pukul sembilan."
"Dah tinggi hari baru terjaga," keluh Andi Kamarool.
"Apa macam? Berjaya malam tadi?"
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Andi Kamarool. Dia menyambut talam yang dihulurkan oleh Kak Sun. Saya yang sudah berdiri di sisinya menggigit jari.
"Tamar, letakkan di sana."
Setalam makanan untuk sarapan pagi segera bertukar tangan. Dari Andi Kamarool ke tangan saya. Talam segera saya letakkan atas lantai tanpa membuka tudung saji yang menutupnya.
"Usaha kami malam tadi gagal kak!" kata saya memberi jawapan, bukannya Andi Kamarool.
Saya lihat Andi Kamarool anggukkan kepala. Tidak merasa tersinggung dengan tindakan saya itu.
"Agaknya kamu berdua tidur di sini, bukannya di anjung rumah batu. Sedapnya tidur hingga terpaksa dikejutkan," dalam senyum Kak Sun cuba menyindir kami.
"Ramalan kak tak tepat, kami balik ke rumah ni pukul tiga pagi. Lepas sembahyang subuh baru kami terlelap," terang saya bersungguhsungguh. Andi Kamarool terus tersengih.
"Apa yang kau orang berdua rasa?"
"Macam-macam, nanti lain kali kami ceritakan pada kak," Andi Kamarool mencelah. Jawapan itu ternyata tidak menyenangkan hati Kak Sun.
"Ceritalah sekarang, apa salahnya."
"Saya berjanji esok atau lusa saya cerita pada Kak," saya melahirkan sebuah janji. Kak Sun menarik nafas panjang.
"Kak bukan apa-apa. Mia yang suruh tanya."
"Jawapannya tetap sama kak," tingkah Andi Kamarool.
"Mia cuma nak tahu, bila kamu berdua gagal, apakah kamu nak teruskan juga?"
"Malam ni, kami cuba lagi hingga hati kami puas. Sampaikan salam kami untuk Mia kerana mengambil berat tentang diri kami. Beritahu dia, sebelum berjaya kami tetap mencuba," tambah saya lagi.
"Baiklah."
Dan Kak Sun pun segera meninggalkan kami.
PERSIAPAN
Kerana tidak mahu mengalami kegagalan, kami segera membuat persiapan rapi. Petua dan ilmu yang ada dalam diri Andi Kamarool segera di satukan dengan petua dan ilmu yang saya miliki.
Pelbagai jenis bunga dicari dan pelbagai jenis ramuan pula diburu. Demi mencari bahan-bahan tersebut, bukit kecil di belakang rumah papan jadi sasaran.
Di saat saya menyusun dan memilih barang-barang yang perlu dan didakwa boleh memanggil makhluk halus, Andi Kamarool menghilangkan diri entah ke mana.
Kira-kira satu jam kemudian baru muncul kembali dengan wajah yang berseri-seri.
"99 jenis bunga kau dah bungkus Tamar?"
"Sudah."
"Serai wangi, kemenyan putih, pucuk pisang hutan di mana kamu letakkan?"
"Dekat bendul."
"Tulang lembu yang kita pesan dengan tukang kebun dah hantar?" soal Andi kamarool, sambil matanya merenung kiri dan kanan.
"Ada, aku letak di kaki tangga. Kamu ke mana tiba-tiba hilang."
"Maafkan aku Tamar, tiba-tiba tergerak hatiku nak jumpa Mia. Aku terus cari dia."
"Jumpa di mana?"
"Aku jumpa di kubur lama di bawah pokok buluh kuning. Dia terkejut bila aku datang."
"Apa yang kamu berdua buat di situ," tanya saya sambil membayangkan yang Andi Kamarool menjelma menjadi harimau jantan dan Mia harimau betina.
"Dia ajak aku pergi ke sebatang anak sungai," kata-kata yang diluahkan oleh Andi Kamarool membuat saya cemas. Mukanya saya renung.
"Jauh dari sini, Andi?" tanya saya lagi
"Aku tak dapat pasti berapa jauh. Anak sungai tu di kaki gunung, kami bercakap saja Tamar."
"Macam sungai.." saya tidak meneruskan kata-kata.
Andi Kamarool yang dapat menangkap maksud kata-kata saya itu, terus tersenyum.
"Bukan macam sungai yang aku dan kamu tengok tu," nada suara Andi Kamarool cukup lemah.
"Kalau serupa, kita terus saja ke situ Andi."
"Serupa atau tidak, malam ni kita teruskan usaha kita Tamar."
"Sudah tentu," balas saya penuh keyakinan.
DATANG
Malam itu, kami datang lagi ke rumah batu lama. Kali ini kami memilih ruang tamu sebagai tempat pertemuan. Mia merestuinya.
Caranya sama seperti apa yang kami lakukan pada malam semalam. Cuma masanya saja dipercepatkan setengah jam lebih awal.
"Kita mulakan," kata saya sambil memegang bahu kanan Andi Kamarool.
"lya," balasnya lemah. Ada getaran keresahan bermain di dadanya.
"Dengan izin Allah kita berjaya," kata saya memberi semangat. Andi Kamarool mengangguk.
Saya segera memberi arahan kepadanya supaya bergerak seiringan menuju ke sudut kanan.
Di situ kami duduk, saling membelakangi menghadapi taburan bunga dan dupa yang mengeluarkan asap kemenyan.
Bau kemenyan terus menyumbat lubang hidung. Saya memperkemaskan sila dan menegakkan badan. Begitu juga dengan Andi Kamarool. Suasana terasa amat sepi sekali.
Beberapa orang yang ditemui siang tadi menyatakan, dalam waktu tertentu, (terutama menjelang senja dan subuh) mereka pernah terlihat tongkat bergerak sendiri dan bunyi gelas berlaga sesama sendiri yang dituruti dengan suara orang batuk.
Mengingati semuanya itu, saya jadi cemas sendirian.
Dengan penuh tenang, kami terus menunggu. Mana tahu mungkin sebentar lagi ada kejadian aneh menjelma.
Saya berusaha dengan sedaya upaya agar tidak terleka, mengantuk atau terkhayal. Andainya perkara sedemekian terjadi, pasti kegagalan yang diraih.
Saya kira, Andi Kamarool juga berbuat seperti apa yang saya buat. Masa terus berlalu, tidak ada apa-apa yang menjelma di depan mata.
Suara lolongan anjing, suara burung hantu, suara kucing jantan mengiau manja memanggil kucing betina. Semuanya tidak kami endahkan.
Saya menahan nafas dan dada terus berdebar. Seekor kucing hitam, entah dari mana datangnya berdiri betul-betul di hujung kepala lutut.
Matanya yang bercahaya merenung tajam ke arah saya. Lidahnya menjilat-jilat lantai simen rumah batu lama. Ketakutan dan kebimbangan segera berakhir, bila kucing hitam itu berlalu.
Ternyata sepanjang malam itu saya tidak mengalami sebarang kejadian aneh atau ganjil. Saya berjaya mengekang biji mata hingga pagi tetapi, apa yang saya alami tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Andi Kamarool.
"Pengalaman yang sungguh hebat," Andi Kamarool membuka mulut di saat sarapan pagi bermula. Saya berhenti menghirup air kopi, sepasang biji mata saya arahkan ke wajahnya.
"Ceritakan, aku nak dengar," saya mendesak.
"Baik," balasnya lalu berhenti mengunyah makanan.
Andi Kamarool pun menceritakan apa yang dialaminya. Setelah menumpukan seluruh kalbu dan pancaindera untuk berdepan dengan pengawal rumah batu lama, dia merasai badannya terhinjut-hinjut seperti berada di atas pelana kuda yang sedang berlari kencang.
Dan dalam masa yang sama, macam ada seseorang yang sengaja memulas kepalanya hingga mukanya berada di belakang.
Sakitnya bukan kepala, tidak dapat diceritakan atau dibayangkan kepada sesiapapun.
Andi Kamarool meronta dan melawan. Mungkin kerana marah, orang yang tidak dikenali mula bertindak kasar.
Andi Kamarool terus dihumban ke tanah lapang, seluruh tubuh terasa sakit dan tulang-temulang bagaikan hancur.
Andi Kamarool terjaga dan dia mendapati dirinya berada di tempat asal. Tidak berubah ke mana-mana dan sakit yang dialami hilang serta merta.
"Dahsyat juga," kata saya.
Andi Kamarool mengangguk perlahan sambil meneguk air kopi.
Saya menggigit bibir dan membuat kesimpulan, walaupun belakang kami bertemu tetapi, peristiwa yang kami alami tidak sama.
Apakah semuanya itu sebagai petanda yang kami akan berhadapan dengan masalah yang lebih rumit lagi?
Atau itu hanya sebagai ujian untuk menduga sejauh mana kesungguhan kami berdua dalam pencarian untuk bertemu dengan pengawal atau penunggu rumah lama? Macam-macam persoalan yang muncul di benak saya.
Sesungguhnya, sarapan pagi itu terlalu banyak menimbulkan persoalan yang buat kami terpaksa berfikir panjang.
"Lupakan apa yang kamu alami," nasihat Andi Kamarool, bila melihat saya kurang ghairah menjamah hidangan yang tersedia.
"Entah," saya mengeluh.
Andi Kamarool tersenyum panjang. Entah apa yang difikirkannya. Saya sendiri tidak tahu.
KEJUT
Petang itu, di saat saya dan Andi Kamarool berehat di halaman rumah papan. Dia muncul, kedatangannya memang di luar dugaan kami berdua.
"Main catur?" matanya menjunam kepada papan catur yang kami buat sendiri.
"Nak menghilangkan rasa jemu," saya menjawab.
Sebenarnya di samping main catur, kami juga berbincang sama ada mahu meneruskan usaha mencari pengawal rumah batu lama atau membatalkan saja. Dengan kehadiran Mia, perbincangan terpaksa dihentikan.
"Bagaimana? Dah dua malam mencuba, apa hasilnya?"
Mia renung muka saya dan secara tidak langsung pertanyaan itu memang ditujukan untuk saya. Tidak kuasa saya menjawabnya.
Tetapi, Andi Kamarool tidak mahu menghampakan hati orang yang disenanginya.
"Tidak berhasil," kata Andi kamarool.
Segaris senyum berlari di kelopak bibir Mia. Anehnya, pandangannya tidak bembah masih merauti saya, tidak kepada Andi Kamarool.
"Mahu diteruskan?" Mia ajukan pertanyaan. Dia tidak puas hati, kerana pertanyaan tadi tidak saya jawab.
"Iya, tetap diteruskan," balas saya.
"Di tempat yang sama Tamar?"
"Tidak."
"Habis di mana pula Tamar," Mia menjengilkan biji mata.
Saya dan Andi Kamarool berpandangan. Mia menanti penuh debar, wajahnya membayangkan keresahan.
Saya masih buntu, tidak tahu apakah jawapan yang harus saya tuturkan kepada Mia.
Dan wajah Andi Kamarool membayangkan rasa serba salah. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak kena dengan tindak-tanduk saya ketika itu.
Sebenamya, apa yang saya buat memang di luar pengetahuan Andi Kamarool. Tidak ada perbincangan atau permuafakatan sebelumnya. Semuanya berlaku secara spontan.
Apa yang saya ucapkan kepada Mia, adalah kemahuan hati saya sendiri. Tidak hairanlah, kalau Andi Kamarool nampak serba salah.
"Mahu ke mana kita Tamar?"
Kata-kata yang terpancut dari kelopak bibir Andi Kamarool meletakkan saya dalam keadaan serba tidak kena.
Bagi mengatasinya saya hanya bersandiwara dan diharapkan Andi Kamarool dapat memahaminya.
"Kau dah lupa dengan keputusan yang kita buat Andi?"
"Aku dah lupa Tamar."
Ternyata Andi kamarool dapat memahami situasi yang terjadi. Dia segera mengikuti irama yang saya mainkan. Kami pun berbalas senyum.
"Bukankah sudah aku cakapkan yang aku mahu bersendirian. Aku mahu bermalam di depan pintu masuk ruang tamu. Kau tidur seorang diri di rumah papan. Kamu cepat sangat lupa pada janji Andi."
Andi Kamarool makin cemas dan gawat. Dia menggigit bibir, mungkin dia berfikir, kenapa saya bertindak demikian.
"Satu cara yang baik, bila kau orang berdua, penunggu rumah takut nak jumpa," Mia terus ketawa.
Dia bagaikan meyindir kami. Tetapi, saya tetap memperlihatkan wajah yang serius.
"Tamar bersungguh-sungguh Mia, dia bukan berjenaka," bisik Andi Kamarool telinga Mia.
Dan ketawa Mia berhenti dengan serta-merta. Wajahnya mula menampakkan kesungguhan.
Dengan niat mencipta suasana aman, Andi Kamarool menceritakan pengalaman yang dilaluinya, Mia mendengar penuh khusyuk.
Sesekali kelihatan dia menggigit bibir dan menelan air liur. Barangkali, dia juga turut merasa kecewa dengan kegagalan demi kegagalan yang kami raih.
"Memang aku mengharapkan sangat-sangat yang kau orang berdua dapat berjumpa dengan apa yang aku cari.
"Selama ini hanya mendengar ceritanya saja. Ada dua tiga kali aku melihat bebayang manusia yang tidak tentu rupanya. Macam-macam cerita ganjil terjadi di sini aku dengar," Mia meluahkan apa yang tersembunyi dalam hatinya selama ini.
"Jadi, kami sudah buat keputusan nak tangguh depan tangga Tamar."
"Iya, Mia."
"Teruskan Tamar," Mia memberi semangat.
Dan dia mengubah topik perbualan ke arah lain. Mia banyak bercerita tentang tumbuh-tumbuhan yang ada di kawasan tanah ladangnya.
Dan petang itu juga, dia membawa saya dan Andi Kamarool meninjau ke kawasan ladang getah, kebun pala, cengkih.
Seperti hari-hari sebelumnya, bila berjalan bersama Mia, saya pasti merasakan ada sepasang mata yang mengawasi gerak langkah saya dengan Andi Kamarool.
Bau hamis harimau mula terhidu, seiring dengan itu, terdengar seperti dedaun gerah kering dipijak sesuatu malah, ada dedaun itu yang pecah.
Makhluk yang memijaknya tidak dapat di lihat. Bila hati kecil saya memaki hamun benda yang tidak kelihatan, saya menerima padah yang tidak diduga.
Belakang saya terasa seperti dicakar-cakar. Tetapi, baju saya tidak pula koyak.
"Maafkan saya," cetus batin saya.
Dengan serta merta, badan saya tidak dicakar lagi. Namun begitu bunyi telapak kaki makhluk ghaib terus mengiringi langkah saya.
Melihat dari gaya langkah, ayunan tangan Mia dan Andi Kamarool yang rancak itu, ternyata mereka tidak diganggu makhluk ganjil.
Sudah hampir separuh kawasan ladang yang luas itu dikelilingi. Mereka berdua (Mia dan Andi Kamarool) tidak memperlihatkan rasa cemas atau bimbang. Masih rancak berbual dan ada ketikanya ketawa mesra.
Di saat matahari berubah warna menjadi kekuning-kuningan serta bergerak perlahan ke arah balik bukit nan menjulang, kawasan ladang yang luas itu segera ditinggalkan.
Kami berjalan perlahan menuju ke halaman rumah batu lama. Di situ, Mia bagaikan tidak mahu berpisah, dia masih bercerita tentang rumah papan, tentang tanah ladang peninggalan orang tuanya.
Tamat Siri Bercakap Dengan Jin 177/284
BACA: SBDJ Siri 176: Memanggil Makhluk Halus
BACA: Siri Bercakap Dengan Jin (Koleksi Lengkap)
-Sentiasapanas.com
from SENTIASAPANAS https://ift.tt/2Nb6377 via IFTTT
"Begini saja, awak ikut saya berjalan-jalan di sini."
"Untuk apa?" Andi Kamarool gugup.
"Melihat keindahan dan kecantikan kawasan ni. Lagipun awak orang baru di sini. Saya kira, jalan bersama tak salah. Macam mana, awak setuju?"
Andi Kamarool jadi serba salah. Sekejap garu kepala, sekejap garu leher, sekejap lagakan gigi atas dengan bawah sekali. Dia masih ragu untuk membuat keputusan.
"Bagaimana? Kamu ragu-ragu dengan aku?" desak si gadis.
"Ayuh, saya temankan awak," jawab Andi Kamarool penuh semangat.
"Bagus, kita menuju ke sungai," si gadis jelita memulakan langkah. Mereka berjalan beriringan.
Seperti apa yang saya lalui, Andi Kamarool juga turut mengalaminya. Dia melihat air sungai yang melimpah ruah tetapi mengalir tenang mengarah dengan dedaun kering dan kumpulan bunga teratai dari hulu.
"Mari kita mandi," si gadis jelita sambil menanggalkan pakaian. Cuma yang tinggal coli dan seluar dalam. Si gadis jelita terjun ke dalam sungai.
"Mari kita mandi," ajaknya lagi sambil melentangkan badan di permukaan air sungai yang tenang.
"Kenapa menung, jangan tunggu lama-lama. Terjun dan berenang sekarang," desak si gadis jelita.
Dan kali ini, Andi Kamarool bersedia memenuhi permintaan itu. Dia segera terfikir, mungkin apa yang sedang dilaluinya ini adalah tipu helah pengawal rumah batu lama untuk memerangkapnya. Andi Kamarool tergesa-gesa berpatah balik.
"Kenapa kamu berpatah balik? Kamu takut dengan air," jerit si gadis dengan rasa kesal yang amat sangat.
Andi Kamarool mempersetankan suara si gadis itu. Dia cuma senyum dan berpatah balik ke tebing sungai.
Berdiri kaku di situ, melihat si gadis jelita berenang dan menyelam sesuka hati. Tubuh si gadis yang segar jadi sasaran biji mata Andi Kamarool.
Payu dara yang keras dan tajam menolak coli yang nipis. Rambut yang panjang bagaikan tebaran jala bila si gadis yang memusingkan kepala dengan cepat.
Si gadis terus berenang dan menyelam bagaikan puteri duyung. Semua gerak-geri yang dipamerkan seolah-olah berusaha membangkitkan nafsu berahi Andi kamarool. Ternyata Andi Kamarool tidak mudah untuk digoda.
Andi Kamarool terus menanti di pinggir tebing.
"Kenapa kamu tak pergi?" soal si gadis sebaik saja dia menghampiri tebing.
Tangan kirinya memegang akar yang terjuntai ke dalam sungai, tubuhnya terus digerak-gerakkan dalam air sungai yang jernih.
Andi Kamarool dapat menikmati seluruh kulit tubuhnya yang putih melepak. Di bahagian tengah belakangnya bertenggek seketul tahi lalat hidup.
"Kamu menanti sesuatu dari aku," tambah si gadis, dia terus berenang ke tengah sungai dengan cara terlentang.
"Lihat sini," jeritnya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Andi Kamarool. Dengan sekelip mata dia terus menyelam ke dasar sungai.
"Ke mana dia?" hati kecil Andi Kamarool berkata sendirian.
Cukup lama si gadis itu menyelam, hampir kecewa Andi Kamarool dibuatnya.
Tiba-tiba si gadis muncul di permukaan sungai. Berenang dengan tenang ketepian. Dia melompat ke atas tebing.
Dengan sekelip mata coli dan seluar dalamnya terus kering dengan serta merta.
"Anehnya," bisik batin Andi Kamarool.
Si gadis terus senyum, seolah-olah tahu apa yang bergolak dalam dada anak muda di bibir tebing dan mata beningnya terus menatap sekujur tubuh Andi Kamarool.
Si gadis terjun ke dalam sungai kembali. Menyelam untuk beberapa saat dan muncul kembali dengan sebilah keris lama agak pendek, tetapi mempunyai lima luk tanpa hulu dan sarung.
Semasa ditayangkan kepada Andi Kamarool, mata keris lama mengeluarkan cahaya kekuning-kuningan hanya untuk beberapa saat sahaja.
TEBING
Si gadis melompat atas tebing, sepasang kakinya dari paras lutut hingga ke hujung kaki berada dalam air sungai. Andi Kamarool melihat air sungai.
Andi Kamarool melihat air dari hujung rambut jatuh meleleh perlahan di permukaan kulit dada dan belakang sebelum jatuh ke bumi.
"Cantik dan antik," si gadis menggerak-gerakkan keris lama berluk lima, dari kanan ke kiri di depan mata Andi Kamarool.
"Berikan pada saya."
"Buat apa?"
"Untuk kenang-kenangan," jawab Andi Kamarool.
"Mudahnya nak minta harta orang. Permintaan dan ajakan orang tak dilayan."
"Apa permintaannya?"
"Buat lupa pula, bukankah tadi aku ajak kamu mandi bersama."
"Oh..!" Mulut Andi Kamarool separuh terlopong.
"Sudahlah."
Secepat kilat si gadis jelita mengangkat kaki dari sungai. Dia terus berdiri. Tubuhnya yang jadi sembilan puluh peratus bogel segera ditutupinya dengan tuala besar.
Entah dari mana tuala itu menjelma? Semuanya membuat kepala Andi kamarool pening.
"Kita pulangkan keris ini ke tempatnya. Kalau kamu berhajat, silalah cari sendiri dalam sungai. Selamat tingggal orang muda."
"Jangan dibuang, nanti dulu."
Si gadis buat tidak kisah dengan permintaan Andi Kamarool. Keris lama berluk lima segera dicampakkannya ke dalam sungai. Dia terus berlalu dan Andi Kamarool tersedar.
Kerana sudah ternyata apa yang dilakukan tidak mendatangkan hasil, kami memutuskan untuk pulang saja ke rumah papan.
Tetapi, kami mengalami kejutan yang lain pula. Kami tidak dapat tidur, badan terasa panas, gatal dan berpeluh seperti berada dekat dengan unggun api.
Apa yang peliknya, menjelang subuh rasa panas, gatal dan peluh di badan hilang serta merta. Dan kami dapat menunaikan sembahyang subuh dengan sempurna.
Sepuluh minit setelah menunaikan sembahyang subuh. Kami diserang rasa mengantuk yang amat sangat.
Bagaimana tidak terdaya membuka kelopak mata dan akhirnya kami terlena di hadapan sejadah dan terjaga bila terdengar ketukan yang bertalu-talu di pintu.
Saya suruh Andi Kamarool bangun dan membuka pintu. Sebaik saja daun pintu terbuka, sinar matahari yang terang benderang terus masuk ke dalam rumah papan.
Di muka pintu, tercegat Kak Sun menatang setalam makanan untuk sarapan pagi. Dia senyum penuh rasa ramah.
"Pukul berapa sekarang Kak Sun?" sambil menggosok-gosok mata Andi Kamarool bersuara.
"Dah pukul sembilan."
"Dah tinggi hari baru terjaga," keluh Andi Kamarool.
"Apa macam? Berjaya malam tadi?"
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Andi Kamarool. Dia menyambut talam yang dihulurkan oleh Kak Sun. Saya yang sudah berdiri di sisinya menggigit jari.
"Tamar, letakkan di sana."
Setalam makanan untuk sarapan pagi segera bertukar tangan. Dari Andi Kamarool ke tangan saya. Talam segera saya letakkan atas lantai tanpa membuka tudung saji yang menutupnya.
"Usaha kami malam tadi gagal kak!" kata saya memberi jawapan, bukannya Andi Kamarool.
Saya lihat Andi Kamarool anggukkan kepala. Tidak merasa tersinggung dengan tindakan saya itu.
"Agaknya kamu berdua tidur di sini, bukannya di anjung rumah batu. Sedapnya tidur hingga terpaksa dikejutkan," dalam senyum Kak Sun cuba menyindir kami.
"Ramalan kak tak tepat, kami balik ke rumah ni pukul tiga pagi. Lepas sembahyang subuh baru kami terlelap," terang saya bersungguhsungguh. Andi Kamarool terus tersengih.
"Apa yang kau orang berdua rasa?"
"Macam-macam, nanti lain kali kami ceritakan pada kak," Andi Kamarool mencelah. Jawapan itu ternyata tidak menyenangkan hati Kak Sun.
"Ceritalah sekarang, apa salahnya."
"Saya berjanji esok atau lusa saya cerita pada Kak," saya melahirkan sebuah janji. Kak Sun menarik nafas panjang.
"Kak bukan apa-apa. Mia yang suruh tanya."
"Jawapannya tetap sama kak," tingkah Andi Kamarool.
"Mia cuma nak tahu, bila kamu berdua gagal, apakah kamu nak teruskan juga?"
"Malam ni, kami cuba lagi hingga hati kami puas. Sampaikan salam kami untuk Mia kerana mengambil berat tentang diri kami. Beritahu dia, sebelum berjaya kami tetap mencuba," tambah saya lagi.
"Baiklah."
Dan Kak Sun pun segera meninggalkan kami.
PERSIAPAN
Kerana tidak mahu mengalami kegagalan, kami segera membuat persiapan rapi. Petua dan ilmu yang ada dalam diri Andi Kamarool segera di satukan dengan petua dan ilmu yang saya miliki.
Pelbagai jenis bunga dicari dan pelbagai jenis ramuan pula diburu. Demi mencari bahan-bahan tersebut, bukit kecil di belakang rumah papan jadi sasaran.
Di saat saya menyusun dan memilih barang-barang yang perlu dan didakwa boleh memanggil makhluk halus, Andi Kamarool menghilangkan diri entah ke mana.
Kira-kira satu jam kemudian baru muncul kembali dengan wajah yang berseri-seri.
"99 jenis bunga kau dah bungkus Tamar?"
"Sudah."
"Serai wangi, kemenyan putih, pucuk pisang hutan di mana kamu letakkan?"
"Dekat bendul."
"Tulang lembu yang kita pesan dengan tukang kebun dah hantar?" soal Andi kamarool, sambil matanya merenung kiri dan kanan.
"Ada, aku letak di kaki tangga. Kamu ke mana tiba-tiba hilang."
"Maafkan aku Tamar, tiba-tiba tergerak hatiku nak jumpa Mia. Aku terus cari dia."
"Jumpa di mana?"
"Aku jumpa di kubur lama di bawah pokok buluh kuning. Dia terkejut bila aku datang."
"Apa yang kamu berdua buat di situ," tanya saya sambil membayangkan yang Andi Kamarool menjelma menjadi harimau jantan dan Mia harimau betina.
"Dia ajak aku pergi ke sebatang anak sungai," kata-kata yang diluahkan oleh Andi Kamarool membuat saya cemas. Mukanya saya renung.
"Jauh dari sini, Andi?" tanya saya lagi
"Aku tak dapat pasti berapa jauh. Anak sungai tu di kaki gunung, kami bercakap saja Tamar."
"Macam sungai.." saya tidak meneruskan kata-kata.
Andi Kamarool yang dapat menangkap maksud kata-kata saya itu, terus tersenyum.
"Bukan macam sungai yang aku dan kamu tengok tu," nada suara Andi Kamarool cukup lemah.
"Kalau serupa, kita terus saja ke situ Andi."
"Serupa atau tidak, malam ni kita teruskan usaha kita Tamar."
"Sudah tentu," balas saya penuh keyakinan.
DATANG
Malam itu, kami datang lagi ke rumah batu lama. Kali ini kami memilih ruang tamu sebagai tempat pertemuan. Mia merestuinya.
Caranya sama seperti apa yang kami lakukan pada malam semalam. Cuma masanya saja dipercepatkan setengah jam lebih awal.
"Kita mulakan," kata saya sambil memegang bahu kanan Andi Kamarool.
"lya," balasnya lemah. Ada getaran keresahan bermain di dadanya.
"Dengan izin Allah kita berjaya," kata saya memberi semangat. Andi Kamarool mengangguk.
Saya segera memberi arahan kepadanya supaya bergerak seiringan menuju ke sudut kanan.
Di situ kami duduk, saling membelakangi menghadapi taburan bunga dan dupa yang mengeluarkan asap kemenyan.
Bau kemenyan terus menyumbat lubang hidung. Saya memperkemaskan sila dan menegakkan badan. Begitu juga dengan Andi Kamarool. Suasana terasa amat sepi sekali.
Beberapa orang yang ditemui siang tadi menyatakan, dalam waktu tertentu, (terutama menjelang senja dan subuh) mereka pernah terlihat tongkat bergerak sendiri dan bunyi gelas berlaga sesama sendiri yang dituruti dengan suara orang batuk.
Mengingati semuanya itu, saya jadi cemas sendirian.
Dengan penuh tenang, kami terus menunggu. Mana tahu mungkin sebentar lagi ada kejadian aneh menjelma.
Saya berusaha dengan sedaya upaya agar tidak terleka, mengantuk atau terkhayal. Andainya perkara sedemekian terjadi, pasti kegagalan yang diraih.
Saya kira, Andi Kamarool juga berbuat seperti apa yang saya buat. Masa terus berlalu, tidak ada apa-apa yang menjelma di depan mata.
Suara lolongan anjing, suara burung hantu, suara kucing jantan mengiau manja memanggil kucing betina. Semuanya tidak kami endahkan.
Saya menahan nafas dan dada terus berdebar. Seekor kucing hitam, entah dari mana datangnya berdiri betul-betul di hujung kepala lutut.
Matanya yang bercahaya merenung tajam ke arah saya. Lidahnya menjilat-jilat lantai simen rumah batu lama. Ketakutan dan kebimbangan segera berakhir, bila kucing hitam itu berlalu.
Ternyata sepanjang malam itu saya tidak mengalami sebarang kejadian aneh atau ganjil. Saya berjaya mengekang biji mata hingga pagi tetapi, apa yang saya alami tidak sama dengan apa yang dirasakan oleh Andi Kamarool.
"Pengalaman yang sungguh hebat," Andi Kamarool membuka mulut di saat sarapan pagi bermula. Saya berhenti menghirup air kopi, sepasang biji mata saya arahkan ke wajahnya.
"Ceritakan, aku nak dengar," saya mendesak.
"Baik," balasnya lalu berhenti mengunyah makanan.
Andi Kamarool pun menceritakan apa yang dialaminya. Setelah menumpukan seluruh kalbu dan pancaindera untuk berdepan dengan pengawal rumah batu lama, dia merasai badannya terhinjut-hinjut seperti berada di atas pelana kuda yang sedang berlari kencang.
Dan dalam masa yang sama, macam ada seseorang yang sengaja memulas kepalanya hingga mukanya berada di belakang.
Sakitnya bukan kepala, tidak dapat diceritakan atau dibayangkan kepada sesiapapun.
Andi Kamarool meronta dan melawan. Mungkin kerana marah, orang yang tidak dikenali mula bertindak kasar.
Andi Kamarool terus dihumban ke tanah lapang, seluruh tubuh terasa sakit dan tulang-temulang bagaikan hancur.
Andi Kamarool terjaga dan dia mendapati dirinya berada di tempat asal. Tidak berubah ke mana-mana dan sakit yang dialami hilang serta merta.
"Dahsyat juga," kata saya.
Andi Kamarool mengangguk perlahan sambil meneguk air kopi.
Saya menggigit bibir dan membuat kesimpulan, walaupun belakang kami bertemu tetapi, peristiwa yang kami alami tidak sama.
Apakah semuanya itu sebagai petanda yang kami akan berhadapan dengan masalah yang lebih rumit lagi?
Atau itu hanya sebagai ujian untuk menduga sejauh mana kesungguhan kami berdua dalam pencarian untuk bertemu dengan pengawal atau penunggu rumah lama? Macam-macam persoalan yang muncul di benak saya.
Sesungguhnya, sarapan pagi itu terlalu banyak menimbulkan persoalan yang buat kami terpaksa berfikir panjang.
"Lupakan apa yang kamu alami," nasihat Andi Kamarool, bila melihat saya kurang ghairah menjamah hidangan yang tersedia.
"Entah," saya mengeluh.
Andi Kamarool tersenyum panjang. Entah apa yang difikirkannya. Saya sendiri tidak tahu.
KEJUT
Petang itu, di saat saya dan Andi Kamarool berehat di halaman rumah papan. Dia muncul, kedatangannya memang di luar dugaan kami berdua.
"Main catur?" matanya menjunam kepada papan catur yang kami buat sendiri.
"Nak menghilangkan rasa jemu," saya menjawab.
Sebenarnya di samping main catur, kami juga berbincang sama ada mahu meneruskan usaha mencari pengawal rumah batu lama atau membatalkan saja. Dengan kehadiran Mia, perbincangan terpaksa dihentikan.
"Bagaimana? Dah dua malam mencuba, apa hasilnya?"
Mia renung muka saya dan secara tidak langsung pertanyaan itu memang ditujukan untuk saya. Tidak kuasa saya menjawabnya.
Tetapi, Andi Kamarool tidak mahu menghampakan hati orang yang disenanginya.
"Tidak berhasil," kata Andi kamarool.
Segaris senyum berlari di kelopak bibir Mia. Anehnya, pandangannya tidak bembah masih merauti saya, tidak kepada Andi Kamarool.
"Mahu diteruskan?" Mia ajukan pertanyaan. Dia tidak puas hati, kerana pertanyaan tadi tidak saya jawab.
"Iya, tetap diteruskan," balas saya.
"Di tempat yang sama Tamar?"
"Tidak."
"Habis di mana pula Tamar," Mia menjengilkan biji mata.
Saya dan Andi Kamarool berpandangan. Mia menanti penuh debar, wajahnya membayangkan keresahan.
Saya masih buntu, tidak tahu apakah jawapan yang harus saya tuturkan kepada Mia.
Dan wajah Andi Kamarool membayangkan rasa serba salah. Seolah-olah ada sesuatu yang tidak kena dengan tindak-tanduk saya ketika itu.
Sebenamya, apa yang saya buat memang di luar pengetahuan Andi Kamarool. Tidak ada perbincangan atau permuafakatan sebelumnya. Semuanya berlaku secara spontan.
Apa yang saya ucapkan kepada Mia, adalah kemahuan hati saya sendiri. Tidak hairanlah, kalau Andi Kamarool nampak serba salah.
"Mahu ke mana kita Tamar?"
Kata-kata yang terpancut dari kelopak bibir Andi Kamarool meletakkan saya dalam keadaan serba tidak kena.
Bagi mengatasinya saya hanya bersandiwara dan diharapkan Andi Kamarool dapat memahaminya.
"Kau dah lupa dengan keputusan yang kita buat Andi?"
"Aku dah lupa Tamar."
Ternyata Andi kamarool dapat memahami situasi yang terjadi. Dia segera mengikuti irama yang saya mainkan. Kami pun berbalas senyum.
"Bukankah sudah aku cakapkan yang aku mahu bersendirian. Aku mahu bermalam di depan pintu masuk ruang tamu. Kau tidur seorang diri di rumah papan. Kamu cepat sangat lupa pada janji Andi."
Andi Kamarool makin cemas dan gawat. Dia menggigit bibir, mungkin dia berfikir, kenapa saya bertindak demikian.
"Satu cara yang baik, bila kau orang berdua, penunggu rumah takut nak jumpa," Mia terus ketawa.
Dia bagaikan meyindir kami. Tetapi, saya tetap memperlihatkan wajah yang serius.
"Tamar bersungguh-sungguh Mia, dia bukan berjenaka," bisik Andi Kamarool telinga Mia.
Dan ketawa Mia berhenti dengan serta-merta. Wajahnya mula menampakkan kesungguhan.
Dengan niat mencipta suasana aman, Andi Kamarool menceritakan pengalaman yang dilaluinya, Mia mendengar penuh khusyuk.
Sesekali kelihatan dia menggigit bibir dan menelan air liur. Barangkali, dia juga turut merasa kecewa dengan kegagalan demi kegagalan yang kami raih.
"Memang aku mengharapkan sangat-sangat yang kau orang berdua dapat berjumpa dengan apa yang aku cari.
"Selama ini hanya mendengar ceritanya saja. Ada dua tiga kali aku melihat bebayang manusia yang tidak tentu rupanya. Macam-macam cerita ganjil terjadi di sini aku dengar," Mia meluahkan apa yang tersembunyi dalam hatinya selama ini.
"Jadi, kami sudah buat keputusan nak tangguh depan tangga Tamar."
"Iya, Mia."
"Teruskan Tamar," Mia memberi semangat.
Dan dia mengubah topik perbualan ke arah lain. Mia banyak bercerita tentang tumbuh-tumbuhan yang ada di kawasan tanah ladangnya.
Dan petang itu juga, dia membawa saya dan Andi Kamarool meninjau ke kawasan ladang getah, kebun pala, cengkih.
Seperti hari-hari sebelumnya, bila berjalan bersama Mia, saya pasti merasakan ada sepasang mata yang mengawasi gerak langkah saya dengan Andi Kamarool.
Bau hamis harimau mula terhidu, seiring dengan itu, terdengar seperti dedaun gerah kering dipijak sesuatu malah, ada dedaun itu yang pecah.
Makhluk yang memijaknya tidak dapat di lihat. Bila hati kecil saya memaki hamun benda yang tidak kelihatan, saya menerima padah yang tidak diduga.
Belakang saya terasa seperti dicakar-cakar. Tetapi, baju saya tidak pula koyak.
"Maafkan saya," cetus batin saya.
Dengan serta merta, badan saya tidak dicakar lagi. Namun begitu bunyi telapak kaki makhluk ghaib terus mengiringi langkah saya.
Melihat dari gaya langkah, ayunan tangan Mia dan Andi Kamarool yang rancak itu, ternyata mereka tidak diganggu makhluk ganjil.
Sudah hampir separuh kawasan ladang yang luas itu dikelilingi. Mereka berdua (Mia dan Andi Kamarool) tidak memperlihatkan rasa cemas atau bimbang. Masih rancak berbual dan ada ketikanya ketawa mesra.
Di saat matahari berubah warna menjadi kekuning-kuningan serta bergerak perlahan ke arah balik bukit nan menjulang, kawasan ladang yang luas itu segera ditinggalkan.
Kami berjalan perlahan menuju ke halaman rumah batu lama. Di situ, Mia bagaikan tidak mahu berpisah, dia masih bercerita tentang rumah papan, tentang tanah ladang peninggalan orang tuanya.
Tamat Siri Bercakap Dengan Jin 177/284
BACA: SBDJ Siri 176: Memanggil Makhluk Halus
BACA: Siri Bercakap Dengan Jin (Koleksi Lengkap)
-Sentiasapanas.com
0 comments:
Post a Comment